Minggu, 18 Maret 2012

TULISAN_2 HUKUM PERDATA

NAMA  : WULAN RATNASARI
KELAS  : 2EB22
NPM    : 28210580


CONTOH KASUS HUKUM PERDATA

Komnas HAM mengaku tidak memiliki wewenang untuk membawa kasus penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah ke meja hijau. Namun Komnas HAM siap membantu warga negara yang hendak menggugat kasus yang menewaskan tiga orang itu. “Karena kita ini masih abu-abu, apakah punya kewenangan atau tidak, tapi kita cobalah nanti,” kata Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (7/2/2011). Ifdal mengatakan, siapa saja yang ingin menggugat peristiwa itu, dapat menggunakan hasil penyelidikan Komnas HAM. Hasil penyelidikan itu nantinya dapat menjadi salah satu bukti di pengadilan. “Warga negara yang menggugat itu bisa menggunakan hasil penyelidikan dari Komnas HAM,” kata Ifdal. Menurut Ifdal, mekanisme hukum yang bisa digunakan adalah citizen law suit. Meski tidak diatur secara langsung dalam hukum Indonesia, namun mekanisme itu telah diterima oleh pengadilan di Indonesia. “Gugatan warga negara untuk kasus TKI itu kan menang di pengadilan. Artinya mekanisme itu tidak diatur secara implisit oleh hukum perdata kita tetapi dapat dilakukan karena itu warga negara bisa menggugat Presiden atau pemerintah karena tidak menjalankan kewajibanya,” kata Ifdal. Sebelumnya, jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, diserang secara sadis oleh sekelompok massa. Tiga orang dari jemaat Ahmadiyah tewas dalam peristiwa beringas itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah didesak untuk segera membereskan persoalan itu. SBY didesak menjamin keselamatan jemaat Ahmadiyah.


HUKUM PERJANJIAN

NAMA   :WULAN RATNASARI
KELAS   :2EB22
NPM      :28210580 

1. STANDAR KONTRAK 
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.

2.MACAM-MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
a. Perjanjian dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan beban.
- Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
- Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
b. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
- Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
- Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
c. Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
- Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
- Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
- Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
d. Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
- Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.
- Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
- Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.

3. SYARAT-SYARAT PERJANJIAN
Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan:
Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran harga barang dalam perjanjian jual beli barang.
Melakukan sesuatu, misalnya menyelesaikan pembangunan jembatan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan.
Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak bekerja di tempat lain selain perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja.
Perjanjian melibatkan sedikitnya dua pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Para pihak ini berdiri berhadap-hadapan dalam kutub-kutub hak dan kewajiban. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebutdebitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebut kreditur. Dalam perjanjian jual beli mobil, sebagai penjual Gareng berhak memperoleh pembayaran uang harga mobil, dan disisi lain ia juga berkewajiban untuk menyerahkan mobilnya kepada Petruk. Sebaliknya, sebagai pembeli Petruk wajib membayar lunas harga mobil itu dan ia sekaligus berhak memperoleh mobilnya.
Selain orang-perorangan (manusia secara biologis), para pihak dalam perjanjian bisa juga terdiri dari badan hukum. Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum yang dapat menjadi salah satu pihak – atau keduanya – dalam perjanjin. Kedua-duanya merupakan subyek hukum, yaitu pihak-pihak yang dapat melakukan perbuatan hukum, pihak-pihak yang mengemban hak dan kewajiban. Suatu badan hukum segala perbuatan hukumnya akan mengikat badan hukum itu sebagai sebuah entitas legal (legal entity).Meskipun perbuatan badan hukum itu diwakili pemimpinnya – misalnya Direktur dalam Perseroan Terbatas – namun perbuatan itu tidak mengikat pemimpin badan hukum itu secara perorangan, melainkan mewakili perusahaan sebagailegal entity.
Dalam pelaksanaannya, jika terjadi pelanggaran perjanjian, misalnya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) sehingga menimbulkan kerugian pada hak pihak yang lain, maka pihak yang dirugikan itu dapat menuntut pemenuhan haknya yang dilanggar. Kalau Gareng sepakat untuk menjual mobilnya kepada Petruk, demikian juga Petruk sepakat untuk membeli mobil itu dari Gareng, maka keteledoran Petruk melakukan pembayaran  harga mobil secara tepat waktu akan melanggar hak Gareng. Selain melanggar hak, keteledoran Petruk juga dapat merugikan Gareng karena Gareng tidak bisa menjual mobil itu ke pihak lain yang memiliki komitmen lebih tinggi – secara waktu Gareng telah dirugikan.
Tujuan perjanjian layaknya membuat undang-undang, yaitu mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat secara umum, sedangkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang memberikan kesepakatannya. Karena setiap orang dianggap melek hukum, maka terhadap semua undang-undang masyarakat telah dianggap mengetahuinya – sehingga bagi mereka yang melanggar, siapapun, tak ada alasan untuk lepas dari hukuman. Demikian pula perjanjian, bertujuan mengatur hubungan-hubungan hukum namun sifatnya privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani perjanjian itu saja yang terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan sengketa, perjanjian itu dapat dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna menyelesaikan sengketa. Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum para pihak merupakan sebuah fakta hukum, yang dengan fakta itu kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan – bagaimana seharusnya hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.
Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan punya kekuatan mengikat secara hukum. Tidak terpenuhinya syarat perjanjian akan membuat perjanjian itu menjadi tidak sah. Menurut pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian terdiri dari:
Syarat Subyektif  (Mengenai subyek atau para pihak)
Kata Sepakat
Kata sepakat berarti adanya titik temu (a meeting of the minds) diantara para pihak tentang kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam perjanjian jual beli mobil, Gareng punya kepentingan untuk menjual mobilnya karena ia membutuhkan uang. Sebaliknya, Petruk membeli mobil Gareng karena ia punya kepentingan memiliki kendaraan. Pertemuan kedua kepentingan itu akan mencapai titik keseimbangan dalam perjanjian.
Cakap
Cakap berarti dianggap mampu melakukan perbuatan hukum. Prinsipnya, semua orang berhak melakukan perbuatan hukum – setiap orang dapat membuat perjanjian – kecuali orang yang belum dewasa, dibawah pengampuan, dan orang-orang tertentu yang dilarang oleh undang-undang.
Syarat Obyektif (Mengenai obyek perjanjian)
Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu berarti obyek perjanjian harus terang dan jelas, dapat ditentukan baik jenis maupun jumlahnya. Misalnya, Gareng menjual mobil Toyota Avanza Nomor Polisi B 1672 RI dengan harga Rp. 180.000.000 kepada Petruk. Obyek perjanjian tersebut jenisnya jelas, sebuah mobil dengan spesifikasi tertentu, dan begitupun harganya.
Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh hukum. Suatu sebab yang tidak halal itu meliputi perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum. Misalnya perjanjian perdagangan manusia atau senjata ilegal.
Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif dan obyektif di atas dapat menyebabkan perjanjian menjadi tidak sah. Perjanjian yang tidak sah karena tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif akan mengakibatkan perjanjian itudapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak. Maksudnya, salah satu pihak dapat menuntut pembatalan itu kepada hakim melalui pengadilan. Sebaliknya, apabila tidak sahnya perjanjian itu disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nul and void), yaitu secara hukum sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian. Selain syarat sahnya perjanjian, suatu perjanjian juga baru akan mengikat para pihak jika dalam pembuatan dan pelaksanaannya memenuhi asas-asas perjanjian (legalakses.com).

4. SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN

 Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.

Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.

Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.

Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.

Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:

a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.

b. Teori Pengiriman (Verzending Theori)
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.

c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.

d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.


5.PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN 
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.

Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)

Pelaksanaan Perjanjian

Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.

Pembayaran

1) Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian

2) Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang

3) Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian

4) Media pembayaran yang digunakan

5) Biaya penyelenggaran pembayaran

Penyerahan Barang

Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:

1) Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2) Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3) Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4) Penyerahan harus nyata (feitelijk)

Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian

Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:

1) Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat


SUMBER
: http://kennysiikebby.wordpress.com/2011/03/07/standar-kontrak-dalam-hukum-perjanjian/ 
http://legalakses.com/perjanjian/
http://carmelcurhatmodeon.blogspot.com/2010/04/hukum-perjanjian.html
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html 

HUKUM PERDATA


NAMA   :WULAN RATNASARI
KELAS   :2EB22
NPM      :28210580 

1.   Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia

KUHPerdata

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Isi KUHPerdata

KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :
1.             Buku 1 tentang Orang / Personrecht
2.            Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht
3.            Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht
4.            Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewiji
Hak cipta
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.
Penegakan Hukum
Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
· Paten
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, pasal. 1, ayat. 1).
Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, pasal. 1, ayat. 2)
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, pasal. 1, ayat. 3)
Hukum yang Mengatur
Saat ini terdapat beberapa perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum paten. Antara lain, WTO Perjanjian TRIPs yang diikuti hampir semua negara.
Pemberian hak paten bersifat teritorial, yaitu, mengikat hanya dalam lokasi tertentu. Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan paten di beberapa negara atau wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi paten di masing-masing negara atau wilayah tersebut. Untuk wilayah Eropa, seseorang dapat mengajukan satu aplikasi paten ke Kantor Paten Eropa, yang jika sukses, sang pengaju aplikasi akan mendapatkan multiple paten (hingga 36 paten, masing-masing untuk setiap negara di Eropa), bukannya satu paten yang berlaku di seluruh wilayah Eropa.

2.SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
KUHPerdata
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Isi KUHPerdata
KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :
1. Buku 1 tentang Orang / Personrecht
2. Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht
3. Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht
4. Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs
3.PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM DIINDONESIA
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Untuk hukum privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan hukum sipil, tetapi oleh Karena perkataan sipiil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan hukum Privat materiil ( Hukum Perdata Materiil ).
Dan pengertian dari Hukum Perdata ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antara perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan seseuatu pihak secara timbale balik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping hukum privat materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP ( Hukum Acara Perdata ) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Di dalam pengertian sempit kadang-kadang Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.


Keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia.

Mengenai keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakana masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada 2 faktor yaitu :

1. factor ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari beberapa suku bangsa.
2. factor hostia yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu :
• golongan eropa dan yang dipersamakan.
• Golongan bumi putera ( pribumi / bangsa Indonesia asli ) dan yang dipersamakan.
• Golongan timur asing ( bangsa cina, India, arab ).

Dan pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas .
Adapun hukum yang diperlakukan bagi masing-masing golongan yaitu :
• Bagi golongan eropa dan yang dipersamakan berlaku huku perdata dan hukum dagang barat yang diselenggarakan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negara belanda berdasarkan azas konkordinasi.
• Bagi golongan bumi putera dan yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
• Bagi golongan timur asing berlaku hukum masing-masing , dengan catatan bahwa golongan bumi putera dan timur asing diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hukum eropa barat baik secara keseluruhan maupun untuk macam tindakan hukum tertentu saja.

Peraturan – peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti :

• Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia Kristen ( staatsblad 1933 bno 7.4 ).
• Organisasi tentang maskapai andil Indonesia ( IMA ) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717.

Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga Negara , yaitu :

• Undang-undang hak pengarang ( auteurswet tahun 1912 ).
• Peraturan umum tentang koperasi ( saatsblad 1933 no 108 ).
• Ordonansi woeker ( saatsblad 1938 no 523 ).
• Ordonansi tentang pengangkutan di udara ( staatsblad 1938 no 98 ).

4. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DIINDONESIA

Sistematika Hukum Perdata dibagi menjadi beberapa bagian, dalam beberapa bagian Buku, yaitu:
1.             Buku 1, Tentang Orang
2.            Buku 2, Tentang Benda
3.            Buku 3, tentang Perikatan
4.            Buku 4, Tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa.
Menurut beberapa ahli hukum sistimatika ini salah, karena masih banyak
kelemahan didalamnya. Kelemahan sistimatika hukum perdata ini adalah ;
1.     Pada Buku 2, ternyata mengatur (juga) tentang hukum waris. Menurut penyusun KUHPer, hukum waris dimasukkan KUHPer karena waris merupakan cara memperoleh hak milik. Ini menimbulkan Tindakan Kepemilikan : Segala tindakan atas sesuatu karena adanya hak milik (Menggunakan, Membuang, Menjual, Menyimpan, Sewakan, dll).
2.    Pada Buku 4, tentang Pembuktian dan Daluwarsa, KUHPer (juga) mengatur tentang Hukum Formil. Mestinya KUHPer merupakan Hukum Materiil, sedangkan Hk. Formil nya adalah Hukum Acara Perdata.
sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/aspek-hukum-dalam-ekonomi-2/
 http://coemix92.wordpress.com/2011/05/23/102/
http://dennyfras.blogspot.com/2011/05/sejarah-singkat-hukum-perdata.html 
http://vegadadu.blogspot.com/2011/05/pengertian-dan-keadaan-hukum-perdata-di.html
http://lirin021206.wordpress.com/2011/04/08/sistematika-hukum-perdata-di-indonesia/

Selasa, 13 Maret 2012

Contoh Dampak Globalisasi di Bidang Ekonomi


Banyak orang berpendapat bahwa sejak krismon 1997 Indonesia telah men jadi korban arus besar “globalisasi” yang telah menghancur-leburkan sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa. “Diagnosis” tersebut menurut pendapat kami memang benar dan kami ingin menunjukkan di sini bahwa kecemasan dan keprihatinan kami sendiri sudah berumur 23 tahun sejak kami menyangsikan ajaran-ajaran dan paham ekonomi Neoklasik Barat yang memang cocok untuk menumbuhkan ekonomi (ajaran efisiensi) tetapi tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan (ajaran keadilan). Pada waktu itu (1979) kami ajukan ajaran ekonomi alternatif yang kami sebut Ekonomi Pancasila. Pada tahun 1981 konsep Ekonomi Pancasila dijadikan “Polemik Nasional” selama 6 bulan tetapi selanjutnya digemboskan dan ditenggelamkan.
Kini 21 tahun kemudian, kami mendapat banyak undangan ceramah/seminar tentangekonomi kerakyatan yang dianggap kebanyakan orang merupakan ajaran baru setelah konsep itu muncul secara tiba-tiba pada era reformasi. Kami ingin tegaskan di sini bahwa konsep ekonomi kerakyatan bukan konsep baru. Ia merupakan konsep lama yaitu Ekonomi Panca sila, namun hanya lebih ditekankan pada sila ke 4 yaitukerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Inilah asas demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal 33 UUD 1945, yang oleh ST MPR 2002 dijadikan ayat 4 baru.
Mengapa tidak dipakai konsep Ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah kata Pancasila telah “dikotori” oleh Orde Baru yang memberi tafsiran keliru dan selanjutnya “dimanfaat kan” untuk kepentingan penguasa Orde Baru. Kini karena segala ajaran Orde Baru ditolak, konsep Ekonomi Pancasila juga dianggap tidak pantas untuk disebut-sebut lagi.
Pada buku baru yang kami tulis di AS bersama seorang rekan Prof. Daniel W. Bromley “A Development Alternative for Indonesia“, bab 4 kami beri judul The New Economics of Indo nesian Development: Ekonomi Pancasila, dengan isi (1) Partisipasi dan Demokrasi Ekonomi, (2) Pembangunan Daerah bukan Pembangunandi Daerah, (3) Nasionalisme Ekonomi, (4) Pendekatan Multidisipliner dalam Pembangunan, dan (5) Pengajaran Ilmu Ekonomi di Universitas. Kesimpulan kami tetap sama seperti pada tahun 1979 yaitu bahwa hanya dalam sistem Ekonomi Pancasilakeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dicapai yaitu melalui etikakemanusiaannasionalisme, dan demokrasi/kerakyatan. Berikut kami sampaikan terjemahan bab terakhir (bab 5) Summary and Implications dari buku kami tersebut.
Ringkasan dan Implikasi
Kami telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan. Kegusaran utama kami adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.
Pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”, pulang ke negerinya dengan penguasaan peralatan teori ekonomi yang abstrak, dan serta merta merumuskan dan menerapkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang menurut mereka juga akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
Para “teknokrat” ini bergaul akrab dengan pakar-pakar dari IMF dan Bank Dunia, dan mereka segera tersandera ajaran dogmatis tentang pasar, dengan alasan untuk menemukan “lembaga dan harga-harga yang tepat”, dan selanjutnya menggerakkan mereka lebih lanjut pada penelitian-penelitian dan arah kebijaksanaan yang memuja-muja persaingan atomistik, intervensi pemerintah yang minimal, dan menganggung-agungkan keajaiban pasar sebagai sistem ekonomi yang baru saja dimenangkan. Doktrin ini sungguh sangat kuat daya pengaruhnya terutama sejak jatuhnya rezim Stalin di Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet. Nampaknya sudah berlaku pernyataan “kini kita semua sudah menjadi kapitalis”. Sudahkah kita sampai pada “akhir sejarah ekonomi?”. Belum tentu.
Keprihatinan kita yang kedua adalah bahwa pertumbuhan pendapatan nasional per kapita sebenarnya merupakan indikator paling buruk dari kemajuan serta pembangunan ekonomi dan sosial yang menyeluruh. Bagi mereka yang bersikukuh bahwa Indonesia harus terus mengejar pertumbuhan ekonomi sekarang, dan baru kemudian memikirkan pembagiannya dan keberlanjutannya, kami ingin mengingat kan bahaya keresahan politik yang sewaktu-waktu bisa muncul. Kami secara serius menolak pendapat yang demikian. Suatu negara yang kaya dan maju berdasarkan sebuah indikator, jelas bukan negara yang ideal jika massa besar yang terpinggirkan berunjuk rasa di jalan-jalan. Keangkuhan dari pakar-pakar ekonomi dan komitmen mereka pada kebijakan ekonomi gaya Amerika merupakan kemewahan yang tak dapat lagi ditoleransi Indonesia. Praktek-praktek perilaku yang diajarkan paham ekonomi yang demikian, dan upaya mempertahankannya berdasarkan pemahaman yang tidak lengkap dari perekonomian, hukum, dan sejarah bangsa Amerika, mengakibatkan terjadinya praktek-praktek yang keliru secara intelektual yang harus dibayar mahal oleh Indonesia. Komitmen pada model-model ekonomi abstrak dan kepalsuan pengetahuan tentang proses pembangunan, mengancam secara serius keutuhan bangsa dan keserasian politik bangsa Indonesia yang lokasinya terpencar luas di pulau-pulau yang menjadi rawan karena sejarah, demografi, dominasi dan campur tangan asing, dan ancaman globalisasi yang garang. Kami khawatir Indonesia telah menukar penjajahan fisik dan politik selama 3½ abad, dengan 3½ dekade “imperialisme intelektual”. Sungguh sulit membayang kan kerugian yang lebih besar lagi.
Gerakan Anti Globalisasi
Dalam 13 tahun terakhir sejak “Washington Concensus” [2] (1989) mengkoyak-koyak perekonomian negara-negara berkembang dari mulai Amerika Latin, bekas Uni Soviet, dan negara-negara Asia Timur, di mana-mana muncul gerakan untuk melawannya, yang disebut gerakan anti-globalisasi. Gerakan ini mengadakan unjukrasa (demonstrasi) menentang pertemuan-pertemuan WTO, IMF, dan Bank Dunia, mulai dari Seattle (1999), Praha (2000), sampai di Genoa Italia (2001). Dan berbagai LSM tingkat dunia (NGO) menerbitkan buku-buku yang menganalisis secara ilmiah. Terakhir terbit buku Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents(Norton, 2002) yang diresensi di mana-mana karena Stiglitz kebetulan adalah penerima hadiah Nobel Ilmu Ekonomi 2001 dan justru pernah menjadi Wakil Presiden Senior Bank Dunia (1997-2000).
Washington Consencus adalah judul sebuah “kesepakatan” antara IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang tercapai di Washington DC berupa resep mengatasi masalah ekonomi negara-negara Amerika Latin yang dirumuskan oleh John Williamson sekitar tahun 1989 yaitu 10 kebijakan/strategi: (1) fiscal discipline, (2) A redirection of public expenditure priorities towards fields with high economic returns and the potential to improve income distribution, such as primary health care, primary education, and infrastructure, (3) Tax reform (to lower marginal tax rates and broaden the tax base), (4) Interest rate liberalization, (5) A competitive exchange rate, (6) Trade liberalization, (7) Liberalization of FDI inflows, (8) Privatization, (9) Deregulation (in the sense of abolishing barriers to entry and exit), dan (10) Secure property rights.
Dari segi teori, perlawanan terhadap “imperialisme intelektual” ilmu ekonomi Neoklasik sudah lebih lama meskipun juga menjadi lebih relevan dan legitimate(syah) sejak “Washington Consensus“. Selanjutnya Paul Ormerod (The Death of Economics, 1992) menya takan ilmu ekonomi Neoklasik ortodoks harus dianggap sudah mati, dan Steve Keen “mene lanjanginya” dalam Debunking Economics(2001).
Di Indonesia perlawanan terhadap teori ekonomi Neoklasik dimulai tahun 1979 dalam bentuk konsep Ekonomi Pancasila, tetapi karena pemerintah Orde Baru yang di­dukung para teknokrat (ekonomi) dan militer begitu kuat, maka konsep Ekonomi Pancasila yang dituduh berbau komunis lalu dengan mudah dijadikan musuh pemerintah, dan ma syarakat seperti biasa mengikuti “arahan” pemerintah agar konsep Ekonomi Pancasila ditolak. Namun reformasi 1997-98 menyadarkan bangsa Indonesia bahwa para digma ekonomi selama Orde Baru memang keliru karena tidak bersifat kerakyatan, dan jelas-jelas berpihak pada kepentingan konglomerat yang bersekongkol dengan pemerintah. Maka munculah gerakan ekonomi kerakyatanyang sebenarnya tidak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila, tetapi karena kata Pancasila telah banyak disalahgunakan Orde Baru, orang cenderung alergi dan menghindarinya. Jika Ekonomi Pancasila mencakup 5 sila (bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial), maka ekonomi kerak yatan me­nekankan pada sila ke-4 saja yang memang telah paling banyak dilanggar selama periode Orde Baru.
UGM telah memutuskan membuka Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) untuk meng hidupkan kembali tekadnya mengembangkan sistem Ekonomi Panca sila yang berawal pada tahun 1981 ketika Fakultas Ekonomi UGM mencuatkan dan menggerakkan pemikiran-pemikiran mendasar tentang moral dan sistem ekonomi Indonesia. Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila dimaksudkan untuk benar-benar mengkaji dasar-dasar moral, ilmu, dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ideologi Pancasila, karena UGM sudah lama dikenal sebagai pengembang gagasan Pancasila dan sudah memiliki Pusat Studi Pancasila.
Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan sampai 57 tahun Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup:
1. peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab;
2. penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi;
3. pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.
4. pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial;
5. penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat;
6. pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksana kan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Kesimpulan
Globalisasi bukan momok tetapi merupakan kekuatan serakah dari sistem kapitalisme-liberalisme yang harus dilawan dengan kekuatan ekonomi-politik nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat. Semasa krismon kekuatan ekonomi rakyat telah terbukti mampu bertahan. Ekonomi rakyat benar-benar tahan banting. Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) 3 (Juni – Desember 2000) membuktikan hal itu dengan menunjukkan 70% rumah tangga meningkat standar hidupnya. Krismon memang lebih menerpa orang-orang kota dan menguntungkan orang-orang desa. Bagi kebanyakan orang desa tidak ada krisis ekonomi. Kesan krisis ekonomi memang dibesar-besarkan oleh mereka yang tidak lagi mampu “berburu rente” (rent seekers) yang bermimpi masih dapat kembalinya sistem ekonomi “persaingan monopolistik” yang lebih menguntungkan sekelompok kecil orang/pengusaha kaya tetapi merugikan sebagian besar golongan kecil ekonomi rakyat.