Rabu, 02 Maret 2011

Tugas Perekonomian Indonesia


Nama      : Wulan Ratnasari
NPM       : 28210580
Kelas      : 1EB18
 
Tugas Minggu 2 Dan 3


Perekonomian Indonesia Pada Masa Pemerintahan Indonesia Bersatu

Pemerintahan Orde Lama

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa member perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yakni pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintahan Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama decade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya, selama Pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastic menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sngat jelek selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Kebijakan ekonomi paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gukden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia. Pada masa Kabinet Natsir (cabinet pertama dalam Negara kesatuan Republik Indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh cabinet berikutnya merumuskan rencana pembangunan ekonomi lima tahun (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa Kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan system kurs berganda. Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihkan perekonomian Indonesia saat itu diantaranya untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa Kabinet Ami I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan system ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.
Dilihat dari aspek politiknya selama Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami system politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa system politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu cabinet pemerintah yang solid dan dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi tu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap cabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek dan disertai dengan banyaknya keributan tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah social dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya.
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sector formal / modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sector informal / tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relative lebih padat capital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.
Struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas, yang boleh Boeke (1954) disebut dual socities, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peratura-peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang nonpribumi / nonlocal.
Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada decade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil.
Di Indonesia pada masa itu, prinsip-prinsip individualisme, persaingan bebas, dan perusahaan swasta / pribadi sangat ditentang, karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya, prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dari Negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya pereknomian Indonesia pada masa pemrintahan Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan factor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industry), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik.

Pemerintahan Orde Baru

Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.

Pemerintahan Transisi

Krisis ekonomi mempunyai dampak yang sangat memprihatinkan terhadap peningkatan pengangguran, baik di perkotaan maupun di pedesaan, daya beli masyarakat menurun, pendidikan dan kesehatan merosot serta jumlah penduduk miskin bertambah oleh karena itu muncul kebijakan Jaring Pengaman Sosial (social safety net). Yang menyebabkan suatu prestasi yang mengagumkan yakni nilai tukar rupiah dari 16.000 menjadi 6.000 rupiah.

Pemerintah Reformasi

Pada tanggal 20 Oktober 1999 menjadi akhir pemerintahan transisi, dan awal dari pemerintahan Presiden Gus Dur. Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya (1999), kondisi perekonomian di Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi. Inflasi dan tingkat suku bunga juga mulai rendah.
Tetapi, selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik sehinnga ketidakstabilan dalam poltik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menaikkan tingkat country risk. Hal ini ditambah lagi dengan buruknya hubungan antara pemerintah dengan IMF, membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asingg, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnisnya di Indonesia.

Perekonomian Gotong Royong

Kebijakan Privatisasi secara teoritis, bagi penganut neoliberal, privatisasi dimaksudkan sebagai jalan untuk mengatasi masalah kekurangan financial, untuk membuat pelayanan menjadi lebih efisien, serta mengindari distorsi pada makro dan mikro ekonomi akibat pelayanan public gratis (Carlos Vilas). Pada kenyataannya, privatisasi telah mengarah para pengguna jasa untuk membeli dengan harga yang lebih mahal, karena perusahaan yang terprivatisasi kini menggunakan kriteria bisnis dan mencari keuntungan (profit). Atau dapat di mengert secara umum yaitu Kebijakan privatisasi – menjual BUMN sehat ke luar negeri.

Pemerintahan Indonesia bersatu

Kabinet Indonesia Bersatu (Inggris: United Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Kabinet ini di bentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para mentrinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar