Kamis, 08 Desember 2011

Prinsip-prinsip koperasi dan contoh kasus

Nama        : Wulan Ratnasari
Kelas        : 2EB22
NPM         : 28210580

PRINSIP-PRINSIP KOPERASI



o    Keanggotaan Bersifat Sukarela Dan Terbuka.
Koperasi menerima anggota secara terbuka bagi siapa saja yang berminat menjadi anggota dengan tidak pandang status masyarakat baik dari kalangan bawah, menengah maupun atas, siapapun mempunyai hak yang sama untuk mendaftarkan diri dan tidak bersifat memaksa dengan tidak mewajibkan seluruh masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai anggota yang akan menjadi bagian dari koperasi yang akan didirikan.
o    Pengelolaan Dilakukan Secara Demokrasi.
Koperasi membentuk struktur organisasi sesuai dengan ketentuan yang telah ada dengan berlandaskan kekeluargaan yang menjunjung asas demokrasi dalam penyelenggaraan rapat anggota, pembentukan pengawas, penentuan pengurus,dan penunjukkan pengelola sebagai karyawan yang bekerja di koperasi.
o    Pembagian SHU Dilakukan Secara Adil Sesuai Dengan Besarnya Jasa Usaha Masing-Masing.
Koperasi mempunyai tujuan untuk mensejahterakan masyarakat pada umumnya dan anggota pada khususnya, maka dalam usaha meningkatkan kesejahteraan anggotanya koperai berusaha semaksimal mungkin untuk bersifat dan berlaku adil dan merata terutama dalam hal pembagian sisa hasil usaha dengan mempertimbangkan aspek kepercayaan dalam pengelolaan koperasi yang telah diberikan oleh masing-masing anggota yang dinilai dalam bentuk besarnya jasa usaha.
o    Pemberian Balas Jasa Yang Terbatas Terhadap Modal.
Koperasi memberikan timbal balik kepada anggota yang telah menanamkan modalnya dan mempercayakan koperasi dalam mengelola modal tersebut berupa balas jasa yang sesuai dengan keadilan, keseimbangan dan keterbatasan seberapa besar modal yang telah diberikan anggota dengan transparan agar anggota jelas dan mengerti pemberian balas jasa yang diberikan koperasi sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
o    Kemandirian.
Koperasi berdiri dengan prinsip kemandirian dengan tidak berada di bawah naungan organisasi lain dan tidak bergantung serta mengandalkan organisasi lain, koperasi berdiri sendiri dengan membentuk struktur organisasi sendiri untuk mengelola dan menjalankan kegiatan usahanya dengan bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat.
o    Pendidikan Perkoperasian.
Koperasi mempunyai arah dan tujuan untuk dapat bekerja sama mengelola kegiatan yang bersifat positif membutuhkan keahlian dalam pengopersiannya maka dibutuhkan pendidikan dan pengarahan dalam penerapannya dengan bermaksud agar koperasi sebagai wadah yang berlandaskan prinsip dan asas kekeluargaan dapat bermanfaat, oleh karena itu pendidikan perkoperasian sangatlah dibutuhkan sebagai dasar pembentukan koperasi.
o    Kerjasama Antar Koperasi.
Koperasi dikatakan bersifat mandiri dalam pengorganisasiannya tetapi dalam menjalankan kegiatan usahanya koperasi tetap menjalin hubungan dan kerjasama antar koperasi berupa komunikasi dan interaksi baik secara langsung maupun tidak langsung karena koperasi berlandaskan kekeluargaan dan dalam menjaga kelangsungan kehidupan perkoperasian diusahakan selalu mengadakan kerjasama agar dapat memperluas bidang usaha dan saling memberikan dukungan.
Prinsip Koperasi menurut Munker
Menurut Hans H. Munkner ada 12 prinsip koperasi yakni sebagai berikut :
1.    Keanggotaan bersifat sukarela
2.   Keanggotaan terbuka
3.   Pengembangan anggota
4.   Identitas pemilik
5.   Manajemen dan pengawasan dilakukan secara demokratis
6.   Koperasi sebagai kumpulan orang-orang
7.   Modal yang berkaitan dengan aspek sosial tidak dibagi
8.   Efisiensi ekonomi dari perusahaan koperasi
9.   Perkumpulan dengan sukarela
10.                Kebebasan dalam pengambilan keputusan dan penetapan tujuan
11. Pendistribusian yang adil dan merata akan hasil-hasil ekonomi
12.                Pendidikan anggota
Prinsip Koperasi menurut Rochdale
Prinsip ini dipelopori oleh 28 koperasi konsumsi di Rochdale, Inggris (1944) dan menjadi acuan bagi koperasi diseluruh dunia.
Adapun unsur-unsurnya sebagai berikut :
1.    Pengawasan secara demokratis
2.   Keanggotaan yang terbuka
3.   Bunga atas modal dibatasi
4.   Pembagian sisa hasil usaha (SHU) kepada angggota sesuai jasanya
5.   Penjualan sepunuhnya dengan tunai
6.   Barang yang dijual harus asli tidak dipalsukan
7.   Menyelenggarakan pendidikan kepada anggotanya  sesuai prinsip koperasi
8.   Netral terhadap politik dan agama
Prinsip Koperasi menurut Raiffeisen
Menurut Freidrich William Raiffeisen (1818-1888) , dari Jerman , prinsip koperasi adalah sebagai berikut :
1.    Swadaya
2.   Daerah kerja terbatas
3.   SHU untuk cadangan
4.   Tanggung jawab anggota tidak terbatas
5.   Pengurus bekerja atas dasar kesukarelaan
6.   Usaha hanya kepada anggota
7.   Keanggotaan atas dasar watak, bukan uang
Prinsip Koperasi menurut Herman Schulze
Prinsip koperasi menurut Herman Schulze (1800-1883) adalah sebagai berikut :
1.    Swadaya
2.   Daerah kerja tak terbatas
3.   SHU untuk cadangan dan untuk dibagikan kepada anggota
4.   Tanggung jawab anggota terbatas
5.   Pengurus bekerja dengan mendapat imbalan
6.   Usaha tidak terbatas tidak hanya untuk anggota
Prinsip Koperasi menurut ICA ( International Cooperative Alliance )
ICA didirikan pada tahun 1895 merupakan organisasi gerakan koperasi tertinggi di dunia. Sidang ICA di Wina pada tahun 1966 merumuskan prinsip-prinsip koperasi sebagai berikut :
1.    Keanggotaan koperasi secara terbuka tanpa adanya pembatasan yang dibuat-buat
2.   Kepemimpinan yang demokrasi atas dasar satu orang satu suara
3.   Modal menerima bunga yang terbatas, itupun bila ada
4.   SHU dibagi 3 :
5.   Sebagian untuk cadangan
6.   Sebagian untuk masyarakat
7.   Sebagian untuk dibagikan kembali kepada anggota sesuai jasanya
8.   Semua koperasi harus melaksanakan pendidikan secara terus-menerus
9.   Gerakan koperasi harus melaksanakan kerja sama yang erat, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional.
Contoh kasus :
Di Semarang Jawa Tengah, perkembangan BMT menurut Ikhwan dan diperkuat lagi dengan penelitian Rahman yang mengukur tingkat kesejahteraan kinerja keuangan 228 BMT di Jawa Tengah termasuk di Kota Semarang menunjukkan bahwa 66, 23 % BMT cukup sehat, dan 23,25 % berada dalam keadaan kurang sehat dan 3,07 dalam keadaan tidak sehat. Kompleksitas masalah yang dihadapi oleh BMT tidak hanya pada legitimasi dan dasar legal formal atas eksistensi BMT saja, tetapi lebih dari itu. Dalam prakteknya juga menghadapi kendala operasional, misalnya konsistensi penerapan prinsip – prinsip syar’i yang menjadi sumber rujukan segaa aktifitasnya.
Sebagai contoh keharusan adanya jaminan dalam setiap akad pemberian kredit (pembiayaan) baik menggunakan skema akad mudharabah atau musyawarakah, bai almuarabahah, atau jugamenggunakan gadai (rahn).Hampir dalam setiap bentuk akad yang diterapkan selalu mempersyaratkan adanya barang jaminan. Padahal jika kita melihat aturannya tidak semua akad pembiayaan (kredit) harus disertai dengan adanya barang jaminan. Misalnya akad mudharabah, qardul hasan, dan lain-lain.
Persyaratan adanya jaminan sebetulnya menjadi wajar karena hal tersebut juga tersirat menurut dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Di sana disebutkan bahwa jaminan (agunan) merupakan “keharusan” dalam beberapa produk lembaga keuangan syari’ah. Penggunaan jaminan dalam semua akad tersebut seakan menjadi keharusan. Padahal jika dirunut akar syar’i, hanya dalam akad gadai saja yang secara eksplisit terdapat keharusan menyerahkan jaminan. Ini berarti ada penyimpangan dalam operasionalisasi BMT karena praktek semacam itu pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan Praktek Bank konvensional yang berprinsip tidak ada kredit tanpa jaminan.
Masalah lain yang juga menjadi concern BMT adalah masalah implementasi penerapan hukum jaminan. Dalam lembaga keuangan konvensional, kegiatan pinjam-meminjam (kredit) dilakukan dengan menggunakan pembebanan hak tanggungan atau hak jaminan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek atas tanah. Akan tetapi di banyak BMT, masih sedikit BMT yang telah menerapkan hukum jaminan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Singkatnya, menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa salah satu syarat jaminan adalah harus didaftarkan ke kantor pendaftaran jaminan dan cara eksekusinya adalah dengan prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut.

Referensi      :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar