Kamis, 05 April 2012

HUKUM PERIKATAN

NAMA   : WULAN RATNASARI
KELAS   : 2EB22
NPM       : 28210580




HUKUM PERIKATAN

Definisi hukum perikatan menurut Para Ahli :
·                     Hofmann
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.
·                     Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
·                     Vollmar
Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.

dua orang atau lebih.Yang menjadi objek percintaan ialah prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan.
Macam-macam prestasi adalah:
(1) Memberikan sesuatu, yaitu membayar harga, menyerahkan barang, dan sebagainya.
(2) Berbuat sesuatu Hukum Perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan yang bersifat kehartaan antara, yaitu memperbaiki barang rusak, membongkar bangunan, karena putusan pengadilan, dan sebagainya.
(3) Tidak berbuat sesuatu, yaitu tidak mendirikan bangunun, tidak memakai merek tertentu karena putusan pengadilan.

B.  Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu:
  1. Perikatan yang timbul dari persetujuan.
  2. Perikatan yang timbul dari undang – undang
  3. Perikatan terjadi bukan perjanjian dalam berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan verbintenis dan overeenkomst, yaitu :
1.   Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
2.   Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakaiistilah Perutangan untukverbintenis dan perjanjian untukovereenkomst.
3.   Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam
bahasa Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan bagi ”verbintenis” yaitu :
1.   perikatan
2.   perutangan
3.   perjanjian
Sedangkan untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah terjemahan dalam bahasa Indonesia yaitu : perjanjian dan persetujuan.
Untuk menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan dalam mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makna nya. terdalam arti istilah masing-masing.Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum.
 Atas pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”. Jadiovereenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka istilahovereenkomst lebih tepat digunakan untuk mengartikan istilah persetujuan.

C. Azas Hukum Perikatan

Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
1.             Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
1.             Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1.             Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
2.             Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3.             Mengenai suatu hal tertentu
4.             Suatu sebab yang halal

D. Wanprestasi

Wanprestasi adalah keadaan dimana debitur tidak memenuhi prestasi (ingkar janji) yang telah di perjanjikan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu :
(1)    Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian.
(2)  Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi diluar kemampuan debitur, dalam arti bahwa debitur di sini dianggap tidak bersalah.

Untuk adanya kesalahan harus dipenuhi syarat-syarat : (1) perbuatan
yang dilakukan harus dapat dihindarkan, (2) perbuatan tersebut dapat
dipersalahkan kepada si pembuat, yaitu bahwa ia dapat menduga tentang
akibatnya.

Bentuk wanprestasi :
1.          Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan.
2.         Debitur terlambat memenuhi perikatan.
3.         Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Akibatnya : jika merugikan wajib mengganti kerugian.
1.          Ganti rugi.
2.         Pembatalan.
3.         Pelaksanaan + ganti rugi.
4.         Pembatalan + ganti rugi.

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/hukum-perikatan-12/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar